Jumat, 24 Oktober 2014

Bila Muslimah Jatuh Cinta

BILA MUSLIMAH JATUH CINTA, LALU?
Jika seorang Muslimah merasakan hatinya
jatuh cinta kepada seorang laki-laki,
maka selama ada jalan hendaknya
diusahakan untuk menikah dengannya.
Jika tidak ada jalan yang memungkinkan
menikahinya, maka muslimah tersebut
wajib Shobr (tabah hati), sampai Allah
menggantikan dengan lelaki yang lebih
baik, atau Allah "menyembuhkannya"
dari "sakit" cinta tersebut.
Inilah solusi yang lebih dekat dengan
petunjuk Nash-Nash Syara' dan lebih
menjaga kehormatan serta dien Muslimah
tersebut.
Jatuh cinta kepada lawan jenis, dari segi
jatuh cinta itu sendiri bukanlah aib dan
juga bukan dosa.
Jatuh cinta adalah hal yang manusiawi
dan menjadi naluri yang ada secara
alamiah pada setiap manusia normal.
Nabi, orang suci, orang shalih, dan ulama
mengalami jatuh cinta kepada lawan jenis
sebagaimana manusia pada umumnya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam
cinta kepada Khadijah dan Aisyah, ibnu
Umar cinta yang sangat kepada istrinya,
Ibnu Hazm cinta pada wanita yang
sampai membuatnya menjadi ulama besar,
Sayyid Quthub
mencintai wanita namun gagal
menikahinya, dll semuanya adalah contoh
bagaimana perasaan itu adalah perasaan
yang normal, wajar, natural, dan biasa.
Adapun mengapa orang yang jatuh cinta
perlu mengusahakan menikah dengan
orang yang dicintai, maka hal tersebut
dikerenakan Syara' menunjukkan bahwa
solusi cinta terhadap lawan jenis adalah
dengan menikah dengannya.
Di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wassalam ada seorang lelaki yang
jatuh cinta setengah mati dengan
seorang wanita.
Lelaki tersebut bernama Al-Mughits dan
wanitanya bernama Bariroh.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam
yang mengetahui cinta
tersebut merekomendasikan kepada
Bariroh agar berkenan
menikah dengan Al-Mughits.
Rekomendasi Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wassalam ini menunjukkan bahwa solusi
jatuh cinta adalah menikah.
Bukhari meriwayatkan;
Dari Ibnu Abbas bahwasanya suami
Bariroh adalah seorang budak. Namanya
Mughits. (setelah keduanya bercerai)
Sepertinya aku melihat ia selalu
menguntit di belakang Bariroh seraya
menangis hingga air matanya membasahi
jenggot.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Wahai Abbas, tidakkah kamu
ta’ajub akan kecintaan Mughits terhadap
Bariroh dan kebencian Bariroh terhadap
Mughits?”
Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
pun bersabda: “andai saja kamu
mau meruju’nya kembali (menikah
dengannya).” Bariroh bertanya, “Wahai
Rasulullah, apakah engkau menyuruhku?”
beliau menjawab, “Aku hanya
menyarankan.” Akhirnya Bariroh pun
berkata, “Sesungguhnya aku tak butuh
sedikit pun padanya.”
(H.R. Bukhari)
Pernah juga ada kejadian, seorang lelaki
yang mencintai seorang wanita dan
wanita tersebut mencintai lelaki itu. Lalu
keduanya ingin menikah, namun
dihalang-halangi oleh kakak wanita
tersebut.
Ternyata Allah melarang sikap sang
kakak dan memerintahkan agar
menikahkan mereka berdua. Kisah ini juga
menunjukkan bahwa jatuh cinta antara
dua anak manusia solusinya tetap
dikembalikan pada pernikahan selama
masih memungkinkan.
Bahkan Allah mencela sikap menghalang-
halangi pernikahan jika kedua belah
pihak telah saling ridha.
At-Tirmidzi meriwatkan kisahnya;
Dari Ma’qil bin Yasar bahwa pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia
menikahkan saudarinya dengan seorang
lelaki dari kaum muslimin, lalu saudarinya
tinggal bersama suaminya beberapa
waktu, setelah itu dia menceraikannya
begitu saja, ketika masa Iddahnya usai,
ternyata suaminya cinta kembali kepada
wanita itu begitu sebaliknya, wanita itu
juga mencintainya, kemudian dia
meminangnya kembali bersama orang-
orang yang meminang, maka Ma’qil
berkata kepadanya;
hai tolol, aku telah memuliakanmu
dengannya dan aku telah menikahkannya
denganmu, lalu kamu menceraikannya,
demi Allah dia tidak akan kembali lagi
kepadamu untuk selamanya,inilah akhir
kesempatanmu.”
Perawi berkata; “Kemudian Allah
mengetahui kebutuhan suami kepada
istrinya dan kebutuhan isteri kepada
suaminya hingga Allah Tabaraka wa
Ta’ala
menurunkan ayat: “Apabila kamu
mentalak isteri-isterimu, lalu mereka
mendekati akhir iddahnya.”
QS Al-Baqarah: 231
sampai ayat “Sedang kamu tidak
Mengetahui.” Ketika Ma’qil mendengar
ayat ini, dia berkata; “Aku mendengar
dan patuh kepada Rabbku, lalu dia
memanggilnya (mantan suami saudarinya
yang ditolaknya tadi) dan berkata; “Aku
nikahkan kamu dan aku muliakan kamu.”
(At-Tirmidzi)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam
sendiri bahkan mengajarkan kepada kita
bahwa menikah adalah obat yang paling
mujarab bagi dua orang yang saling
mencintai.
Ibnu Majah meriwayatkan;
Dari Ibnu Abbas ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Kami belum pernah melihat (obat yang
mujarab bagi ) dua orang yang saling
mencintai sebagaimana sebuah
pernikahan."
(H.R. Ibnu Majah)
Nash-Nash ini, dan yang semakna
dengannya menunjukkan bahwa menikah
adalah solusi syar'i bagi orang yang
jatuh cinta.
Oleh karena itu seorang muslimah yang
jatuh cinta kepada seorang lelaki bisa
memulai mengusahakan menikah dengan
lelaki tersebut dengan cara menawarkan
dirinya untuk dinikahi.
Cara ini lebih tegas, Syar'i, solutif, dan
terhormat.
Menawarkan diri kepada lelaki untuk
dinikahi bukan perbuatan hina dan
tercela. Justru wanita yang menawarkan
dirinya kepada seorang lelaki adalah
wanita yang mengerti solusi Syar'i
terhadap problemnya, tegas dalam
mengambil keputusan, terhormat karena
tahu cara menjaga kehormatannya
dengan ikatan pernikahan yang suci, dan
mulia karena mengetahui kepada siapa
dia harus mempersembahkan bakti.
Khadijah adalah
contoh wanita mulia yang tahu persis
kepada siapa beliau mempersembahkan
bakti, dan siapa yang pantas jadi
imamnya dalam rumah tangga.
Dengan ketegasan sikap beliau, maka
Khadijah mendapatkan lelaki yang
terbaik di alam ini. Justru sikap yang
menjauhi ketakwaan jika seorang wanita
mencintai
seorang lelaki, lalu perasaan tersebut
dipendamnya seraya mengotori hatinya
dengan angan-angan tercela.
Sesungguhnya angan-angan hati ada
yang terkategori dosa sebagaimana yang
dinyatakan dalam hadis dibawah ini;
Dari Ibnu Abbas dia berkata; ‘Saya tidak
mengetahui sesuatu yang paling dekat
dengan makna Lamam (dosa dosa kecil)
selain dari apa yang telah dikatakan oleh
Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Salam: “Sesungguhnya Allah `Azza
Wa Jalla telah menetapkan pada setiap
anak cucu Adam bagiannya dari
perbuatan zina yang pasti terjadi dan
tidak mungkin dihindari. Maka zinanya
mata adalah melihat, zinanya lisan
adalah ucapan, sedangkan zinanya hati
adalah berangan-
anga dan berhasrat, namun kemaluanlah
yang (menjadi penentu
untuk) membenarkan hal itu atau
mendustakannya.”
(H.R. Muslim)
Wanita yang menawarkan diri lebih tegas
dan jelas sikapnya.
Jika hal tersebut bisa berlanjut ke
pernikahan, maka hal itu kebahagiaan
baginya, namun jika tidak mungkin
berlanjut,sikapnya juga sudah jelas dan
tinggal menyelesaikan problem sisanya.
Wanita yang memendam rasa sambil
berfantasi justru berpeluang untuk lebih
menderita dan dekat dengan
pelanggaran Syara', kecuali wanita-
wanita yang dirahmati Allah.
Terkait teknis melakukannya, maka
wanita bebas memilihnya diantara
berbagai cara yang dianggap paling
mudah.
Bisa melalui perantara atau langsung
dirinya sendiri. Bisa secara lisan, bisa
juga melalui tulisan. Bisa sekedar memulai
untuk menawarkan atau langsung
memulai dengan lafadz pinangan.
Hanya saja, solusi menikah ini tidak
bermakna bolehnya memaksa lelaki untuk
menikahinya. Hal itu dikarenakan memilih
istri adalah hak lelaki yang merupakan
pilihan baginya.
Sebagaimana wanita berhak memilih
calon suami, maka lelaki juga berhak
memilih calon istri manapun yang
dikehendakinya.
Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa
lelaki wajib menikahi wanita yang
mencintainya. Kisah cinta Al Mughits
kepada Bariroh menunjukkan hal
tersebut. Betapapun Al-Mughits sangat
mencintai Bariroh, dan Nabi juga
merekomendasikan
Bariroh untuk menikah dengan Al-
Mughits, namun Nabi tidak memaksa
Bariroh untuk menikah dengan Al-
Mughits.
Namun, jika cinta itu memang sangat
kuat (cinta setengah mati), memang
dianjurkan pihak yang dicintai
menikahinya sebagai bentuk rohmah,
meskipun dia sendiri belum mencintainya.
Jika pihak yang dicintai belum berkenan
menikahi dan tertutup
semua jalan/kemungkinan untuk menikahi,
maka tidak ada jalan
bagi muslimah tersebut selain Shobr
(tabah hati).
Hal itu dikarenakan Syara'
memerintahkan Shobr pada semua bentuk
musibah yang menyedihkan hati secara
mutlak dan berjanji memberikan
ganjaran yang besar atasnya. Shobr ini
terus dilakukan sambil berdoa sampai
Allah memberikan ganti lelaki yang lebih
baik, atau Allah menghilangkan perasaan
tersebut,
atau Allah mewafatkannya.
Dengan cara penyikapan seperti ini, maka
seorang muslimah akan senantiasa dalam
keadaan beramal.
Mendapat nikmat suami bisa beramal
Syukur, dan jika gagal bisa beramal
Shobr.
Semuanya adalah kebaikan baginya.
Wallahu a'lam. —

Tidak ada komentar:

Posting Komentar