Minggu, 04 Mei 2014

DUNIA

Kehidupan Dunia Hanyalah
Kesenangan yang Menipu

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah berpesan kepada Abdullah bin
Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil
memegang pundak iparnya ini:
ﻛُﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻛَﺄَﻧَّﻚَ ﻏَﺮِﻳْﺐٌ ﺃَﻭْ ﻋَﺎﺑِﺮُ ﺳَﺒِﻴْﻞٍ
“ Jadilah engkau di dunia ini seperti
orang asing atau bahkan seperti orang
yang sekedar lewat (musafir) .” (Hadits
Riwayat Al-Bukhari no. 6416)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﺍﻋْﻠَﻤُﻮﺍ ﺃَﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻟَﻌِﺐٌ ﻭَﻟَﻬْﻮٌ ﻭَﺯِﻳﻨَﺔٌ
ﻭَﺗَﻔَﺎﺧُﺮٌ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ ﻭَﺗَﻜَﺎﺛُﺮٌ ﻓِﻲ ﺍْﻷَﻣْﻮَﺍﻝِ ﻭَﺍْﻷَﻭْﻻَﺩِ ﻛَﻤَﺜَﻞِ
ﻏَﻴْﺚٍ ﺃَﻋْﺠَﺐَ ﺍﻟْﻜُﻔَّﺎﺭَ ﻧَﺒَﺎﺗُﻪُ ﺛُﻢَّ ﻳَﻬِﻴْﺞُ ﻓَﺘَﺮَﺍﻩُ ﻣُﺼْﻔَﺮًّﺍ
ﺛُﻢَّ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﺣُﻄَﺎﻣًﺎ ﻭَﻓِﻲ ﺍْﻵﺧِﺮَﺓِ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺷَﺪِﻳْﺪٌ ﻭَﻣَﻐْﻔِﺮَﺓٌ
ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺭِﺿْﻮَﺍﻥٌ ﻭَﻣَﺎ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻻَّ ﻣَﺘَﺎﻉُ
ﺍﻟْﻐُﺮُﻭْﺭِ
“ Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya
kehidupan dunia itu hanyalah permainan
dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan
dan bermegah-megahan di antara
kalian serta berbangga-banggaan
dengan banyaknya harta dan anak,
seperti hujan yang karenanya tumbuh
tanam-tanaman yang membuat kagum
para petani, kemudian tanaman itu
menjadi kering dan kamu lihat warnanya
kuning lantas menjadi hancur. Dan di
akhirat nanti ada adzab yang keras
dan ampunan dari Allah serta
keridhaan- Nya. Dan kehidupan dunia
itu tidak lain hanyalah kesenangan
yang menipu.” (Al- Hadid: 20)
Bacalah berulang kalam dari Rabb yang
mulia di atas berikut maknanya…
Setelahnya, apa yang kamu pahami dari
kehidupan dunia? Masihkah dunia
membuaimu? Masihkah angan-anganmu
melambung tuk meraih gemerlapnya?
Masihkah engkau tertipu dengan
kesenangannya?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di rahimahullahu dalam Tafsir-
nya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengabarkan tentang hakikat dunia
dan apa yang ada di atasnya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala terangkan akhir
kesudahannya dan kesudahan
penduduknya. Dunia adalah permainan
dan sesuatu yang melalaikan.
Mempermainkan tubuh dan melalaikan
hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan
terjadi pada anak-anak dunia [1].
Engkau dapati mereka menghabiskan
waktu-waktu dalam umur mereka
dengan sesuatu yang melalaikan hati
dan melengahkan dari berdzikir kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun janji
(pahala dan surga, –pent.) dan
ancaman (adzab dan neraka, –pent.)
yang ada di hadapan, engkau lihat
mereka telah menjadikan agama mereka
sebagai permainan dan gurauan belaka.
Berbeda halnya dengan orang yang
sadar dan orang-orang yang beramal
untuk akhirat. Hati mereka penuh
disemarakkan dengan dzikrullah,
mengenali dan mencintai-Nya. Mereka
sibukkan waktu-waktu mereka dengan
melakukan amalan yang dapat
mendekatkan diri mereka kepada Allah
daripada membuangnya untuk sesuatu
yang manfaatnya sedikit.”
Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan,
“ Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberikan permisalan bagi dunia
dengan hujan yang turun di atas bumi.
Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan
yang dimakan oleh manusia dan hewan.
Hingga ketika bumi telah memakai
perhiasan dan keindahannya, dan para
penanamnya, yang cita- cita dan
pandangan mereka hanya sebatas
dunia, pun terkagum-kagum karenanya.
Datanglah perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang akhirnya tanaman itu layu,
menguning, kering dan hancur. Bumi
kembali kepada keadaannya semula,
seakan- akan belum pernah ada
tetumbuhan yang hijau di atasnya.
Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya
bermegah-megahan dengannya, apa
saja yang ia inginkan dari tuntutan
dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara
dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-
pintunya terbuka. Namun tiba-tiba
ketetapan takdir menimpanya berupa
hilangnya dunianya dari tangannya.
Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia
meninggalkan dunia dengan tangan
kosong, tidak ada bekal yang dibawanya
kecuali kain kafan….” (Taisir Al-
Karimirir Rahman, hal. 841)
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma
berkisah, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam melewati pasar sementara
orang-orang ada di sekitar beliau.
Beliau melintasi bangkai seekor anak
kambing yang kecil atau terputus
telinganya (cacat). Beliau memegang
telinga bangkai tersebut seraya
berkata:
ﺃَﻳُّﻜُﻢْ ﻳُﺤِﺐُّ ﺃَﻥَّ ﻫَﺬَﺍ ﻟَﻪُ ﺑِﺪِﺭْﻫَﻢٍ؟ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ: ﻣَﺎ ﻧُﺤِﺐُّ
ﺃَﻧَّﻪُ ﻟَﻨَﺎ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻭَﻣَﺎ ﻧَﺼْﻨَﻊُ ﺑِﻪِ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺃَﺗُﺤِﺒُّﻮْﻥَ ﺃَﻧَّﻪُ
ﻟَﻜُﻢْ؟ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ: ﻭَﺍﻟﻠﻪِ، ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺣَﻴًّﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻴْﺒًﺎ ﻓِﻴْﻪِ
ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﺃَﺳَﻚُّ ﻓَﻜَﻴْﻒَ ﻭَﻫُﻮَ ﻣَﻴِّﺖٌ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻓَﻮَﺍﻟﻠﻪِ ﻟَﻠﺪُّﻧْﻴَﺎ
ﺃَﻫْﻮَﻥُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣِﻦْ ﻫَﺬَﺍ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ
“ Siapa di antara kalian yang suka
memiliki anak kambing ini dengan
membayar seharga satu dirham?”
Mereka menjawab, “Kami tidak ingin
memilikinya dengan harga semurah
apapun. Apa yang dapat kami perbuat
dengan bangkai ini?” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
berkata, “Apakah kalian suka bangkai
anak kambing ini menjadi milik kalian?”
“Demi Allah, seandainya pun anak
kambing ini masih hidup, tetaplah ada
cacat, kecil/terputus telinganya.
Apatah lagi ia telah menjadi seonggok
bangkai,” jawab mereka. Beliau pun
bersabda setelahnya, “Demi Allah,
sungguh dunia ini lebih rendah dan hina
bagi Allah daripada hinanya bangkai ini
bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun pernah bersabda:
ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺗَﻌْﺪِﻝُ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺟَﻨَﺎﺡَ ﺑَﻌُﻮْﺿَﺔٍ ﻣَﺎ
ﺳَﻘَﻰ ﻛَﺎﻓِﺮًﺍ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺷَﺮْﺑَﺔَ ﻣَﺎﺀٍ
“ Seandainya dunia punya nilai di sisi
Allah walau hanya menyamai nilai
sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah
tidak akan memberi minum kepada orang
kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi
no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-
Albani rahimahullahu dalam Ash-
Shahihah no. 686)
Tatkala orang-orang yang utama, mulia
lagi berakal mengetahui bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah
menghinakan dunia, mereka pun enggan
untuk tenggelam dalam kesenangannya.
Apatah lagi mereka mengetahui bahwa
Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam
hidup di dunia penuh kezuhudan dan
memperingatkan para shahabatnya dari
fitnah dunia. Mereka pun mengambil
dunia sekedarnya dan mengeluarkannya
di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala
sebanyak- banyaknya. Mereka ambil
sekedar yang mencukupi dan mereka
tinggalkan yang melalaikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah berpesan kepada Abdullah bin
Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil
memegang pundak iparnya ini:
ﻛُﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻛَﺄَﻧَّﻚَ ﻏَﺮِﻳْﺐٌ ﺃَﻭْ ﻋَﺎﺑِﺮُ ﺳَﺒِﻴْﻞٍ
“ Jadilah engkau di dunia ini seperti
orang asing atau bahkan seperti orang
yang sekedar lewat (musafir) .” (HR. Al-
Bukhari no. 6416)
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma
pun memegang teguh wasiat Nabinya
baik dalam ucapan maupun perbuatan.
Dalam ucapannya beliau berkata setelah
menyampaikan hadits Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam di atas, “ Bila engkau
berada di sore hati maka janganlah
engkau menanti datangnya pagi.
Sebaliknya bila engkau berada di pagi
hari, janganlah menanti sore.
Gunakanlah waktu sehatmu (untuk
beramal ketaatan) sebelum datang
sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk
beramal shalih) sebelum kematian
menjemputmu .”
Adapun dalam perbuatan, beliau
radhiyallahu ‘anhuma merupakan
shahabat yang terkenal dengan
kezuhudan dan sifat qana’ahnya
(merasa cukup walau dengan yang
sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,
“ Pemuda Quraisy yang paling dapat
menahan dirinya dari dunia adalah
Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhuma .” (Siyar A’lamin Nubala`, hal.
3/211)
Ibnu Baththal rahimahullahu
menjelaskan berkenaan dengan hadits
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di
atas, “ Dalam hadits ini terdapat isyarat
untuk mengutamakan sifat zuhud dalam
kehidupan dunia dan mengambil
perbekalan secukupnya. Sebagaimana
musafir tidak membutuhkan bekal lebih
dari apa yang dapat mengantarkannya
sampai ke tujuan, demikian pula seorang
mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih
dari apa yang dapat menyampaikannya
ke tempat akhirnya .” (Fathul Bari,
11/282)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu
berkata memberikan penjelasan
terhadap hadits ini, “Janganlah engkau
condong kepada dunia. Jangan engkau
jadikan dunia sebagai tanah air (tempat
menetap), dan jangan pula pernah
terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di
dalamnya. Jangan engkau terpaut
kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya
seorang asing pada selain tanah airnya,
di mana ia ingin segera meninggalkan
negeri asing tersebut guna kembali
kepada keluarganya.” (Syarhu Al-
Arba’in An- Nawawiyyah fil Ahadits
Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal.
105)
Suatu ketika Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu melihat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar
tikar. Ketika bangkit dari tidurnya
tikar tersebut meninggalkan bekas pada
tubuh beliau. Berkatalah para shahabat
yang menyaksikan hal itu, “ Wahai
Rasulullah, seandainya boleh kami
siapkan untukmu kasur yang empuk!”
Beliau menjawab:
ﻣَﺎ ﻟِﻲ ﻭَﻣَﺎ ﻟِﻠﺪُّﻧْﻴَﺎ، ﻣَﺎ ﺃَﻧَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻻَّ ﻛَﺮَﺍﻛِﺐٍ
ﺍﺳْﺘَﻈَﻞَّ ﺗَﺤْﺖَ ﺷَﺠَﺮَﺓٍ ﺛُﻢَّ ﺭَﺍﺡَ ﻭَﺗَﺮَﻛَﻬَﺎ
“ Ada kecintaan apa aku dengan dunia?
Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti
seorang pengendara yang mencari
teteduhan di bawah pohon, lalu
beristirahat, kemudian
meninggalkannya .” (HR. At-Tirmidzi no.
2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al- Albani
rahimahullahu dalam Shahih At-
Tirmidzi)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu
‘anhu pernah menangis melihat
kesahajaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sampai beliau hanya tidur di
atas selembar tikar tanpa dialasi
apapun. Umar radhiyallahu ‘anhu
berkata:
ﻓَﺮَﺃَﻳْﺖُ ﺃَﺛَﺮَ ﺍﻟْﺤَﺼِﻴْﺮِ ﻓِﻲ ﺟَﻨْﺒِﻪِ ﻓَﺒَﻜَﻴْﺖُ. ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻣَﺎ
ﻳُﺒْﻜِﻴْﻚَ؟ ﻓَﻘُﻠْﺖُ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺇِﻥَّ ﻛِﺴْﺮَﻯ ﻭَﻗَﻴْﺼَﺮَ
ﻓِﻴْﻤَﺎ ﻫُﻤَﺎ ﻓِﻴْﻪِ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ . ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺃَﻣَﺎ
ﺗَﺮْﺿَﻰ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮْﻥَ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻟَﻨَﺎ ﺍْﻵﺧِﺮَﺓُ؟
Aku melihat bekas tikar di lambung/
rusuk beliau, maka aku pun menangis,
hingga mengundang tanya beliau, “Apa
yang membuatmu menangis?” Aku
menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh
Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar
(raja Romawi –pent.) berada dalam
kemegahannya, sementara engkau
adalah utusan Allah [2].” Beliau
menjawab, “Tidakkah engkau ridha
mereka mendapatkan dunia sedangkan
kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-
Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)
Dalam kesempatan yang sama, Umar
ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu
berkata kepada Nabinya:
ﺍﺩْﻉُ ﺍﻟﻠﻪَ ﻓَﻠْﻴُﻮَﺳِّﻊْ ﻋَﻠَﻰ ﺃُﻣَّﺘِﻚَ ﻓَﺈِﻥَّ ﻓَﺎﺭِﺱَ ﻭَﺍﻟﺮُّﻭْﻡَ
ﻭُﺳِّﻊَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻭَﺃُﻋْﻄُﻮﺍ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻫُﻢْ ﻻَ ﻳَﻌْﺒُﺪُﻭْﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ.
ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻣُﺘَّﻜِﺌًﺎ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺃَﻭَﻓِﻲ ﺷَﻚٍّ ﺃَﻧْﺖَ ﻳَﺎ ﺍﺑْﻦَ
ﺍﻟْﺨَﻄَّﺎﺏِ، ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻗَﻮْﻡٌ ﻋُﺠِّﻠَﺖْ ﻟَﻬُﻢْ ﻃَﻴِّﺒَﺎﺗُﻬُﻢْ ﻓِﻲ
ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ
“ Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa
kepada Allah agar Allah memberikan
kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh
Allah telah melapangkan (memberi
kemegahan) kepada Persia dan Romawi,
padahal mereka tidak beribadah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Rasulullah
meluruskan duduknya, kemudian berkata,
“Apakah engkau dalam keraguan, wahai
putra Al-Khaththab? Mereka itu
adalah orang-orang yang disegerakan
kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki
yang baik- baik) mereka di dalam
kehidupan dunia [3] ?” (HR. Al-Bukhari
no. 5191 dan Muslim no. 3679)
Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku.
Dan tergambar bagimu bagaimana
orang- orang yang bertakwa lagi
cendikia itu mengarungi dunia mereka.
Mereka enggan untuk tenggelam di
dalamnya, karena dunia hanyalah
tempat penyeberangan … Di ujung sana
menanti negeri keabadian yang
keutamaannya tiada terbandingi
dengan dunia.
Al-Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu
‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﺎ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓِﻲ ﺍْﻵﺧِﺮَﺓِ ﺇِﻻَّ ﻣِﺜْﻞُ ﻣَﺎ ﻳَﺠْﻌَﻞُ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ
ﺇِﺻْﺒَﻌَﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻴَﻢِّ ﻓَﻠْﻴَﻨْﻈُﺮْ ﺑِﻢَ ﺗَﺮْﺟِﻊُ
“ Tidaklah dunia bila dibandingkan
dengan akhirat kecuali hanya semisal
salah seorang dari kalian memasukkan
sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka
hendaklah ia melihat apa yang dibawa
oleh jari tersebut ketika
diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu
menerangkan, “Makna hadits di atas
adalah pendeknya masa dunia dan
fananya kelezatannya bila
dibandingkan dengan kelanggengan
akhirat berikut kelezatan dan
kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti
air yang menempel di jari bila
dibandingkan dengan air yang masih
tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)
Lihatlah demikian kecilnya
perbendaharaan dunia bila
dibandingkan dengan akhirat. Maka
siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain
orang yang pandir, karena dunia takkan
dapat menipu orang yang cerdas dan
berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Footnote :
[1] Mereka yang tertipu dengan dunia.
[2] Dalam riwayat lain yang
diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no.
3675) disebutkan ucapan Umar ibnul
Khaththab radhiyallahu ‘anhu:
ﻓَﺎﺑْﺘَﺪَﺭَﺕْ ﻋَﻴْﻨَﺎﻱَ . ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﻳُﺒْﻜِﻴْﻚَ، ﻳَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﺍﻟْﺨَﻄَّﺎﺏِ؟ ﻗُﻠْﺖُ : ﻳَﺎ
ﻧَﺒِﻲَّ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﻟِﻲ ﻻَ ﺃَﺑْﻜِﻲ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﺤَﺼِﻴْﺮُ ﻗَﺪْ ﺃَﺛَّﺮَ ﻓِﻲ ﺟَﻨْﺒِﻚَ
ﻭَﻫَﺬِﻩِ ﺧِﺰَﺍﻧَﺘُﻚَ ﻻَ ﺃَﺭَﻯ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺇِﻻَّ ﻣَﺎ ﺃَﺭَﻯ، ﻭَﺫَﺍﻙَ ﻗَﻴْﺼَﺮُ
ﻭَﻛِﺴْﺮَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻟﺜِّﻤَﺎﺭِ ﻭَﺍْﻷَﻧْﻬَﺎﺭِ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺻَﻔْﻮَﺗُﻪُ
ﻭَﻫَﺬِﻩِ ﺧِﺰَﺍﻧَﺘُﻚَ
“ Maka bercucuranlah air mataku.”
Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa
yang membuatmu menangis, wahai putra
Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai
Nabiyullah, bagaimana aku tidak
menangis, aku menyaksikan tikar ini
membekas pada rusukmu. Aku melihat
lemarimu tidak ada isinya kecuali
sekedar yang aku lihat. Sementara
Kaisar dan Kisra dalam limpahan
kemewahan dengan buah-buahan dan
sungai-sungai yang mengalir. Padahal
engkau (jauh lebih mulia daripada
mereka, –pent.) adalah utusan Allah dan
manusia pilihan-Nya, dalam keadaan
lemarimu hanya begini.”
[3] Adapun di akhirat kelak, mereka
tidak mendapatkan apa-apa. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﻭَﻳَﻮْﻡَ ﻳُﻌْﺮَﺽُ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﺃَﺫْﻫَﺒْﺘُﻢْ ﻃَﻴِّﺒَﺎﺗِﻜُﻢْ ﻓِﻲ
ﺣَﻴَﺎﺗِﻜُﻢُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﺳْﺘَﻤْﺘَﻌْﺘُﻢْ ﺑِﻬَﺎ ﻓَﺎﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺗُﺠْﺰَﻭْﻥَ ﻋَﺬَﺍﺏَ ﺍﻟْﻬُﻮْﻥِ ﺑِﻤَﺎ
ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻜْﺒِﺮُﻭْﻥَ ﻓِﻲ ﺍْﻷَﺭْﺽِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﻭَﺑِﻤَﺎ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﻔْﺴُﻘُﻮْﻥَ
“ Dan ingatlah hari ketika orang-orang
kafir dihadapkan ke neraka, kepada
mereka dikatakan, ‘Kalian telah
menghabiskan kesenangan hidup (rezeki
yang baik-baik) kalian dalam kehidupan
duniawi saja dan kalian telah
bersenang-senang dengannya. Maka
pada hari ini kalian dibalas dengan
adzab yang menghinakan karena kalian
telah menyombongkan diri di muka bumi
tanpa haq dan karena kalian berbuat
kefasikan’. ” (Al-Ahqaf: 20)
Sumber: http://www.asysyariah.com/
syariah.php?menu=detil&id_online=587 ,
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-
Atsariyyah, Judul:Jangan Terpikat oleh
Dunia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar