Minggu, 04 Mei 2014

GaLaU?????ga lah yauuuuuuuu

Suatu hari, Salman Al-Farisi berniat
untuk menikahi seorang wanita
Madinah. Dan ketika hendak
melamarnya, ia butuh ditemani oleh
saudaranya –yang dipersaudarakan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam- yakni Abu Darda. Maklum,
ia orang asing yang berasal dari
Persia, tentu ia butuh ditemani agar
lamarannya berjalan lancar. Ketika
sampai di rumah wanita itu, Abu
Darda melamarkan wanita itu untuk
Salman. Ternyata, jawaban wanita
atas lamaran tersebut tidak seperti
sinetron yang happy-ending bagi
Salman, karena justru yang dipilih
wanita tersebut adalah sahabatnya
sendiri, Abu Darda.
Apakah karena itu Salman marah?
Murka? Bunuh diri? Tidak. Justru
inilah jawaban Salman,
“Semua mahar dan nafkah yang
kupersiapkan akan aku serahkan pada
Abu Darda, dan aku akan menjadi
saksi pernikahan kalian”.
Inilah potret seorang yang bisa
mengendalikan cintanya dan bukan
menjadi cinta yang liar. Inilah
Salman, tidak diperbudak dengan
cinta dan nafsunya, namun melihat
lewat kacamata keikhlasan. Ia tidak
memaksakan kehendak cintanya.
Karena ia tahu bagaimana
sebenarnya
cinta yang matang. Ia tahu bahwa
cinta yang sempurna datang dari
hati
yang kuat dan bukan hati yang labil.
Lain lagi dengan Ibnul Qayyim Al
Jauziyah, ulama besar ahli penyucian
jiwa. Ia dahulu jatuh cinta pada
puteri gurunya, Imam Al Mizzi.
Namun siapa sangka, tuan putri tidak
dinikahkan dengan Ibnul Qayyim,
melainkan dengan Ibnu Katsir, sang
ahli tafsir yang tidak lain adalah
murid Ibnul Qayyim sendiri!
Apakah dengan itu Ibnul Qayyim
melaknat muridnya? Tidak. Justru
Ibnul Qayyim terus berkarya,
menebar ilmu yang bermanfaat.
Tidak
seperti remaja galau yang hanya
menangisi hidupnya karena kepergian
sang kekasih.
Selain itu, yang harus kita sadari
adalah cinta menuntut perbaikan
diri. Karena sudah seharusnya cinta
seorang muslim mengantar kepada
kebaikan. Dalam Al Qur’an Allah
berfirman,
“Wanita-wanita yang keji adalah
untuk laki-laki yang keji, dan laki-
laki
yang keji adalah untuk wanita-
wanita
yang keji (pula), dan wanita-wanita
yang baik adalah untuk laki-laki
yang
baik dan laki- laki yang baik adalah
untuk wanita-wanita yang baik
(pula)” (QS. An-Nuur: 26)
Jika memang cinta kepada orang itu
adalah yang terbaik bagi kita, maka
seharusnya kita terus berusaha
memperbaiki diri kita. Karena yang
kita kejar adalah kebaikannya. Dan
memang jika tidak, maka yakinlah
bahwa ada yang lebih baik untuk
kita. Jadi, untuk apa galau berlama-
lama? Tidakkah sebaiknya kita
memperbaiki diri agar cinta kita
menjadi cinta yang terbaik pada
orang yang terbaik?
Dan terakhir, jangan putus asa
karena yakinlah bahwa Allah punya
rencana terbaik untuk kita. Sekali
pun
seluruh manusia hendak menjatuhkan
kita, tetapi jika Allah telah
menggariskan kebalikannya, maka
tidak akan terjadi. Begitu pun dalam
hal galau-menggalau ini. Kalau Anda
adalah orang yang berpikiran jauh ke
depan hingga ke jenjang pernikahan
dan gelisah “Aduh, bagaimana ya
masa depanku?” tenang saja, Allah
telah menyiapkan yang terbaik
selama kita melakukan yang terbaik.
Fatimah, puteri Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, sempat
menggegerkan Madinah. Pasalnya
karena waktu itu Abu Bakar
melamarnya, namun lamaran tersebut
ditolak. Bayangkan, seorang Abu
Bakar, sahabat nabi terbaik, mertua
Nabi, lamarannya ditolak!
Kemudian, datang lagi kabar
mengejutkan. Lamaran Umar bin
Khattab, seorang Al-Faruq, yang
bahkan setan pun lari
menghindarinya, yang juga mertua
Nabi, ditolak! Duhai, kira-kira jodoh
seperti apa yang sesuai dengan
Fatimah?
Ternyata yang berjodoh dengan
Fatimah adalah Ali bin Abi Thalib
yang saat itu justru kemampuannya
kurang berada, yang kalau masalah
kemuliaan masih kalah dibanding
dengan dua sahabat tadi.
Tapi itulah kenyataannya. Tak perlu
galau, tak perlu gelisah, karena jika
Allah berkehendak, maka jadilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar