Sabtu, 03 Mei 2014

TAWAKAL

Bismillah

Assalaamu’alaikum warahmatullaahi
wabarokatuh,

       Seperti Hati Burung
Penulis: Husni Ridho (Mahasiswa Ma’had
Ali Al-Imam Asy-Syafii Jember)

Dari Abu Hurairoh radiyallahu’anhu, dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda, “Akan masuk surga suatu
kaum, hati mereka seperti hati
burung” (HR. Muslim) maknanya adalah
dalam merealisasikan tawakal.
Lantas seperti apa hati burung?
Hal ini dijelaskan oleh hadits dari sahabat
Umar bin khotob radiyallahu’anhu,
bahwasannya beliau mendengar
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Andaikan kalian tawakal kepada Allah
dengan sebenarnya, niscaya Allah akan
memberi rizki kepada kalian seperti
memberi rizki kepada burung. Mereka
pergi pagi hari dengan perut kosong dan
pulang sore hari dengan perut
kenyang” (shahih Tirmidzi, beliau
berkata, ‘hadits hasan sohih)
Mengomentari hadits tersebut, Ibnu
Rajab rohimahullah berkata di dalam
kitabnya Jami’ul ‘ulum wal Hikam, “Hadits
ini adalah dasar atau asas di dalam
bertawakal, hal terebut juga merupakan
diantara sebab yang paling besar dalam
memperoleh rizki,”
Oleh karena itu, kita tidak pernah
mendengar seekor burung pada pagi hari
terbentur dengan masalah rizki, lalu dia
benturkan kepalanya ke tiang listrik. Itu
tidak terjadi pada burung, tapi pada
manusia hal tersebut terjadi dan sering
kita dengar di berita atau dia media
massa.
Di dalam realitanya, merealisasikan
hakikat tawakal di dalam hati kita bukan
merupakan perkara yang mudah, dia
adalah ibadah hati yang sangat agung,
dia merupakan sumber kebaikan.
Darinya timbul berbagai macam ibadah
hati yang lainnya. Bahkan hakikat
agama adalah tawakal dan inabah
(kembali kepada Allah). Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “Hanya
kepada Engkaulah kami beribadah dan
hanya kepada Engkaulah kami memohon
pertolongan” (QS. Al-Fatihah : 5)
Tawakal adalah isti’anah (minta
pertolongan) dan inabah adalah ibadah.
Hilangnya berbagai kebaikan, luputnya
kita dari amal yang besar, buruknya
ibadah kita – karena tidak hadirnya rasa
cinta, harap dan takut – adalah karena
masih jauhnya kita dari hakikat tawakal.
Bahkan kegelisahan dan ketakutan yang
menimpa sebagian kaum muslimin adalah
dikarenakan belum hadirnya tawakal di
dalam qalbunya.
Berikut ini nukilan kami dari berbagai
perkataan ulama tentang definisi dan
hakikat tawakal. Mudah-mudah yang
sedikit ini–dengan taufik dari Allah- bisa
membantu kita merealisasikannya. Amin
Definisi Tawakal
Imam Ibnu Rajab rahimahulloh berkata,
“Hakekat tawakal adalah hati benar-
benar bergantung kepada Allah dalam
rangka memperoleh maslahat (hal-hal
yang baik) dan menolak mudhorot (hal-
hal yang buruk) dari urusan-urusan
dunia dan akherat”
Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Tawakal adalah menyandarkan
permasalahan kepada Allah dalam
mengupayakan yang dicari dan menolak
apa-apa yang tidak disenangi, disertai
percaya penuh kepada Allah Ta’ala dan
menempuh sebab (sebab adalah upaya
dan aktifitas yang dilakukan untuk
meraih tujuan) yang diizinkan syari’at.
Bertawakallah Hanya Kepada Allah
Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya
agar bertawakal hanya kepada-Nya
dalam banyak ayat. Diantaranya ayat
(yang artinya), “Dan hanya kepada
Allah hendaknya kamu bertawakal, jika
kamu benar-benar orang yang
beriman” (Al-Maidah : 23) “Dan
barangsiapa yang bertawakal kepada
Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya” (QS. At-Tholaq : 3)
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Akan masuk surga dari
umatku tujuh puluh ribu orang tanpa
hisab….mereka adalah orang-orang yang
tidak minta ruqyah, tidak menyandarkan
kesialan kepada burung dan sejenisnya,
tidak berobat dengan besi panas dan
mereka bertawakal kepada Rabb
mereka” (HR. Muslim)
Tawakal kepada Allah adalah syarat
sahnya keislaman dan keimanan
seseorang. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan bertawakallah kamu
hanya kepada Allah, jika kamu benar-
benar orang-orang beriman” (Al-
Maidah :3)
dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya), “Dan Musa berkata,
‘wahai kaumku ! apabila kamu beriman
kepada Allah, maka bertawakallah kalian
kepada-Nya jika kamu benar-benar
orang muslim (berserah diri)” (QS.
Yunus : 84)
Maka tawakal merupakan ibadah yang
sangat agung. tawakal adalah murni
ibadah hati, oleh karena itu mengesakan
Allah Ta’ala dalam tawakal adalah
merupakan kewajiban, dan
memalingkannya kepada selain Allah
merupakan kesyirikan. Wal’iyadzubillah.
“Sungguh kita tidak bisa terlepas dari-
Nya sekejap mata pun. Jika kita
bersandar kepada diri sendiri, maka kita
telah meyerahkan diri kita kepada
kelemahan yang rendah dan serba
kurang, khilaf dan kesalahan.
Dan jika kita bersandar kepada orang
lain maka kita telah mempercayakan diri
kepada yang sama sekali tidak memiliki
kemampuan untuk mendatangkan bahaya
dan manfaat, serta tidak mampu
mematikan dan menghidupkan serta
membangkitkan dan mengumpulkan
kembali”.
Itulah nukilan dari perkataan Ibnul Qayim
rahimahullah didalam kitabnya alfawaid.
wallahu ‘alam. Maka bertawakallah wahai
hamba Allah kepada Dzat yang
ditangan-Nya segala urusan dan yang
memiliki segalanya.
Bertawakal Kepada Selain Allah
Bertawakal kepada selain Allah ada tiga
keadaan :
1) Syirik akbar (besar). Yaitu seorang
bertawakal kepada selain Allah Ta’ala
dalam perkara yang hanya mampu
dilakukan oleh Allah Ta’ala tidak selain-
Nya.
Contoh : seseorang bertawakal kepada
makhluk /wali di dalam memperoleh
kebaikan atau bertawakal kepada
makhluk dengan hatinya Karena ingin
mempunyai anak atau pekerjaan, sedang
makhluk tersebut tidak mampu memenuhi
keinginannya tersebut.
2) Syirik kecil. Yaitu seseorang
bertawakal kepada selain Allah dalam
perkara dimana Allah Ta’ala memberikan
kemampuan kepada makhluk tersebut
untuk memenuhinya.
Contoh : seorang istri bertawakal kepada
suami dalam kebutuhan hariannya.
(peringatan: syirik walaupun kecil,
pelakunya tetap diancam neraka hingga
ia bertaubat)
3) Boleh. Yaitu seseorang bertawakal
kepada selain Allah dalam arti mewakilkan
urusannya kepada seseorang tanpa
disertai penyandaran hati. Contoh :
menyerahkan kendali perusahaan kepada
seorang menejer.
seperti Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mewakilkan kepada Ali
radiyallahu’anhu untuk menyembelih
qurbannya dan mewakilkan kepada Abu
Hurairoh radiyallahu’anhu dalam masalah
sodaqoh.
Menghadirkan Tawakal
“Tawakal kepada Allah Ta’ala merupakan
ibadah yang dituntut dari seorang
mu’min Kekuatan tawakal seseorang
kepada Allah Ta’ala kembali kepada
pemahamannya tentang rububiyah Allah
Ta’ala dan keimanannya yang mendalam
terhadap tauhid rububiyah.
Maka untuk menghadirkan dan
memunculkan tawakal di dalam hati
kembali kepada perenungan terhadap
atsar-atsar dari rububiyah Allah Ta’ala.
Semakin banyak seorang hamba
merenung dan memperhatikan kekuasaan
dan kerajaan Allah di langit dan di bumi,
pengetahuannya bahwa Allah adalah
yang memiliki kerajaan langit dan bumi,
bahwasannya hanya Dia yang mengatur
dan menjalankannya dan pertolongan
Allah kepada hamba-Nya merupakan
sesuatu yang mudah dibandingkan
dengan pengaturan alam semesta ini,
maka akan semakin besar
pengagungannya kepada Allah,
semakin kuat pula tawakalnya kepada
Allah Ta’ala, ia pun mengagungkan
perintah-Nya (dengan melaksanakannya
), dan mengagungkan larangan-Nya
(dengan menjauhinya), dan ia pun
meyakini tidak ada sesuatupun yang
dapat melemahkan-Nya dan tidak ada
yang sulit bagi-Nya.
“Dan barang siapa yang bertawakal
kepada Allah, maka Allah akan
mencukupinya” (QS. Ath-Tholaq : 3)”
Itulah nukilan perkataan Syekh Sholih Alu
Syaikh di dalam kitabnya at-tamhid
syarah kitab tauhid. walahu’alam
Penjelasannya, apabila seorang hamba
mengilmui tentang keesaan Allah dalam
hal menolak bahaya dan mendatangkan
manfaat, dalam hal memberi dan
menahan, dalam hal mencipatakan dan
memberi rizki, dalam hal menghidupakan
dan mematikan (dan ini semua adalah
rububiyah Allah), maka itu akan
membuahkan ubudiyah tawakal kepada-
Nya semata secara batin, dan
konsekwensi tawakal dan buahnya secara
lahiriyah.
Tawakal Bukan Hanya Pasrah
Kadang seseorang salah kaprah dalam
memaknai tawakal, ia menganggap bahwa
tawakal adalah legowo (menerima total)
keadaan tanpa ada upaya perubahan,
namun perlu diketahui bahwa tawakal
bukan berarti meninggalkan usaha atau
sebab, karena melakukan atau mengambil
sebab merupakan kesempurnaa tawakal.
Akan tetapi tidak boleh bersandar
kepada sebab tersebut. Syekhul islam
Abul Abbas rohimahullah berkata,
“Meninggalkan sebab adalah celaan
terhadap syari’at dan bersandar kepada
sebab adalah syirik”.
Murid beliau Syamsudin Abu Abdillah
rahimahullah berkata, “Pelanggaran
terbesar terhadap syari’at adalah
meninggalkan sebab karena menyangka
bahwa mengambil sebab akan menafikan
tawakal”
yang lain berkata, “Mengandalkan sebab
adalah celaan terhadap tawakal dan
tauhid, sedangkan meninggalkan sebab
merupakan celaan terhadap syari’at dan
hikmah Allah” karena Allah telah
menjadikan segala sesuatu ada sebab dan
akibatnya.
Maka kita katakan, “Di dalam bertawakal
harus terpenuhi dua syarat : pertama,
menyerahkan seluruh perkara kepada
Allah Ta’ala yang di tangan-NYalah
segala urusan.
Kedua, tidak boleh bersandar kepada
sebab yang dilakukannya. Hati dan
batinnya bersandar total kepada Allah
Ta’ala, sedangkan anggota badannya
menjalani sebab.
Dengan itu diketahui bahwa tawakal
adalah murni ibadah hati. Barang siapa
yang memalingkannya kepada selain Allah
maka dia telah berbuat syirik, walaupun
dia meyakini bahwa Allah Ta’ala satu-
satunya yang menciptakan dan memberi
rizki.
Hadits berikut lebih memperjelas: Dari
Umar bin Khotob radiyallahu’anhu,
ROsulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Andaikan kalian tawakal
kepada Allah dengan sebenarnya niscaya
Allah akan memberi rizki kepada kalian
seperti memberi rizki kepada burung.
Mereka pergi pagi hari dengan perut
kosong dan pulang sore hari dengan perut
kenyang” (Shohih Tirmidzi)
Tawakal burung adalah dengan pergi
mencari makanan, maka Allah jamin
dengan memberikan makanan kepada
mereka. Burung-burung itu tidak tidur
saja di sarangnya sambil menunggu
makanan datang, tetapi pergi jauh
mencari makanan untuk dirinya dan
anak-anaknya.
Ketahuilah, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah orang yang paling
bertawakal kepada Allah, namun belian
melakukan usaha. Ketika perang uhud
beliau memakai dua baju besi dan ketika
hijrah ke madinah beliau menyewa
penunjuk jalan, beliau juga berlindung
dari panas dan dingin, tapi hal tersebut
tidak mengurangi tawakalnya kepada
Allah Ta’ala.
Jadi, mengambil sebab yang
disyari’atkan menunjukan kesempurnaan
tawakal dan kekuatannya, dan
meninggalkan sebab menunjukan
kebodohannya terhadap syari’at
rabbnya.
Barangsiapa yang membaca kisah-kisah
para Nabi, terkhusus Nabi kita
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya akan melihat
bahwasannya mereka adalah manusia
yang paling bertawakal kepada Allah
Ta’ala, bersamaan dengan itu mereka
juga mengambil sebab dan meyakini
bahwa hal tersebut merupakan
kesempurnaan tawakal kepada Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar