Minggu, 04 Mei 2014

SABAR DALAM DAKWAH

Bismillah
Bersabarlah Dalam Berdakwah
Syawwal, 3 tahun sebelum hijrah. Dua
orang berjalan 60 mil dari Makkah menuju
Tha’if. Mereka berdua berjalan kaki,
berdebu di jalan Allah, demi
menyampaikan risalah kebenaran.
Tatkala sampai di Thaif, mereka berdua
mendatangi tiga orang pemuka kabilah
Tsaqif: Abd Yala’il, Mas’ud, dan Habib.
Ketiganya putera Amr bin Umair Ats
Tsaqafi. Kepada mereka bertiga
disampaikanlah ajakan untuk memeluk
Islam lewat lisan paling mulia. Tapi,
jangankan sambutan atau balasan yang
hangat dan damai, yang diterima oleh
pendakwah ini malah makian dan cacian.
Salah seorang dari mereka berkata, “Jika
Allah benar-benar mengutusmu, maka Dia
akan merobek-robek pakaian Ka’bah”
Seorang yang lain menimpali, “Apakah
Allah tidak menemukan orang lain selain
dirimu?”
Orang terakhir tidak mau kalah, “Demi
Allah! Aku sekali-kali tidak akan mau
berbicara denganmu! Jika memang
engkau seorang rasul, sungguh engkau
terlalu agung untuk dibantah ucapanmu
dan jika engkau seorang pendusta
terhadap Allah, maka tidak patut pula
aku berbicara denganmu”
Sambutan yang sangat tidak pantas bagi
musafir dakwah tersebut. Dakwah dalam
10 hari di Thaif ditolak mentah-mentah
oleh penduduknya. Ketika dua orang
musafir ini hendak meninggalkan Thaif,
mereka tidak dilepas dengan lambaian
tangan perpisahan atau kenang-
kenangan berharga, justru mereka diberi
kenang-kenangan berupa lemparan batu
dan cacian yang menyayat hati.
Lemparan batu dari manusia-manusia tak
bermoral itu membuat sandal Sang
Pendakwah hingga berlumuran darah
dari kakinya. Tidak ketinggalan,
pendamping perjalanannya sekaligus anak
angkatnya yang telah berusaha
melindungi Sang Pendakwah itu juga
turut terkena lemparan hingga kepalanya
berdarah.
Perjalanan jauh dari Makkah ke Thaif,
tinggal selama lebih dari seminggu,
mengajak manusia kepada kebenaran,
tapi justru keluar dari kota itu bagai
makhluk hina yang terusir. Tidak bisa
dibayangkan bagaimana perasaan Sang
Pendakwah tersebut, pastilah hancur dan
sangat sedih.
Sampailah perjalanan mereka di tempat
yang sekarang bernama Qarn Al Manazil.
Sang Pendakwah yang juga manusia
termulia itu bertemu dengan Jibril
bersama Malaikat penjaga gunung.
Malaikat penjaga gunung berkata, “Wahai
Muhammad! Hal itu terserah padamu. Jika
engkau menghendaki aku meratakan
mereka dengan Al Akhasyabain (Dua
bukit besar), maka aku lakukan”
Orang yang diseru itu menjawab, “Tidak,
sesungguhnya aku berharap mudah-
mudahan Allah mengeluarkan dari tulang
sulbi keturunan mereka orang-orang
yang menyembah Allah semata dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun”
-----00000-----
Kisah di atas disarikan dari yang tertulis
di dalam kitab Ar Rahiqul Makhtum karya
Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri.
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab
Bad’ul Khalq I/458 dan diriwayatkan
pula oleh Imam Muslim bab Ma Laqiyyan
Nabiyya Shallallahu ‘alaihi wasallam Min
Adzal Musyrikin wal Munafiqin II/109.
Kisah di atas mengenai Sang Pendakwah
yang tidak lain adalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan anak
angkatnya, Zaid bin Haritsah radhiallahu
‘anhu.
Kisah agung di atas merupakan sebuah
kisah yang menggambarkan bagaimana
dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam kepada ummatnya. Bagaimana
beratnya ujian beliau, dan bagaimana
besarnya kesabaran beliau.
Bisa kita bayangkan saat ini, perjalanan
dakwah itu tidak mudah, harus berjalan
di terik matahari gurun dari Makkah ke
Thaif, harus bersusah payah mengajak
orang ke jalan yang benar, tapi apa yang
didapat?
Hanya cemoohan dan lemparan batu.
Bagaimana kita bisa bayangkan betapa
hancurnya hati Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam? Bahkan disebutkan
bahwa tantangan dakwah tersebut
adalah kejadian yang beliau rasakan
lebih berat dibandingkan dengan Perang
Uhud (HR. Bukhari 3231)
Mengenai kisah di atas, Ibn Hajar Al
Asqalani mengomentarinya, “Di dalam
hadits ini terkandung keterangan
mengenai besarnya rasa kasih sayang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
umatnya dan betapa kuat kesabaran dan
kelembutan sikapnya.
Hal itu selaras dengan firman Allah
ta’ala (yang artinya), ‘Dengan rahmat
Allah maka kamupun bersikap lembut
kepada mereka’. Dan juga firman-Nya
(yang artinya), ‘Tidaklah Kami
mengutusmu melainkan sebagai rahmat
bagi seluruh manusia.’.” (Fathul Bari
6/353)
Apa yang membuat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tetap tegar meski
beribadah? Itu karena beliau berharap
agar hasil dakwah ini bisa dituai di
kemudian hari meski mungkin sekarang
hal itu belum bisa terjadi.
Hal itu bisa dilihat dari sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak,
sesungguhnya aku berharap mudah-
mudahan Allah mengeluarkan dari tulang
sulbi keturunan mereka orang-orang
yang menyembah Allah semata dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun”
“Itu adalah di antara berita-berita
penting tentang yang ghaib yang Kami
wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak
pernah kamu mengetahuinya dan tidak
(pula) kaummu sebelum ini. Maka
bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan
yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Huud: 49)
Mengenal Musuh
Dakwah –sebagaimana dakwahnya para
Nabi dan Rasul- pasti selalu menghadapi
halangan dan rintangan. Sepanjang
sejarah manusia, hampir setiap yang
membawa kebenaran pasti pada awalnya
mendapat perlawanan. Dan dalam hal ini
banyak sekali ayat Al Qur’an yang
menerangkan tentang musuh-musuh
dakwah para Nabi.
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan
bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-
orang yang berdosa. dan cukuplah
Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan
penolong” (QS. Al Furqan: 31)
“Dan sungguh telah diperolok-olokkan
beberapa Rasul sebelum kamu, Maka
turunlah kepada orang-orang yang
mencemoohkan di antara mereka Balasan
(azab) olok-olokan mereka.” (QS. Al
An’am: 10)
“Dan sungguh telah diperolok-olokkan
beberapa orang Rasul sebelum kamu Maka
turunlah kepada orang yang
mencemoohkan Rasul-rasul itu azab yang
selalu mereka perolok-olokkan.” (QS. Al
Anbiyaa: 41)
Bahkan tidak jarang para Nabi dan
Rasul yang berdakwah dikatakan gila
atau tukang sihir.
“Demikianlah tidak seorang Rasulpun
yang datang kepada orang-orang yang
sebelum mereka, melainkan mereka
mengatakan: "Dia adalah seorang tukang
sihir atau seorang gila."” (QS. Adz
Dzariyat: 52)
Namun, dengan adanya penentang
kebenaran ini, maka akan semakin
terlihat bagaimana sebenarnya yang
benar dan bagaimana yang salah.
“Termasuk sunnatullah, apabila Dia ingin
menampakkan agama-Nya, maka dia
membangkitkan para penentang agama,
sehingga Dia akan memenangkan
kebenaran dan melenyapkan kebatilan,
karena kebatilan itu pasti akan hancur
binasa.” (Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatawa
28/57)
Lihatlah bagaimana setiap Nabi dan
Rasul memiliki musuh dakwah, tidak hanya
dari kaumnya saja, tapi bahkan dari
keluarganya sendiri. Lihatlah bagaimana
Nuh harus melihat kaum dan anaknya
sendiri tenggelam, lihat bagaimana
Ibrahim harus merelakan Ayahnya
terjebak dalam kesesatan bersana Raja
Namrud.
Atau mungkin lihatlah tuntunan kita,
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam yang betapa besar ujian
dakwah beliau namun beliau masih tetap
sabar dalam berdakwah.
Sabar Dalam
Dakwah tanpa kesabaran maka pasti
tidak akan terwujud tujuannya. Dakwah
yang penuh rintangan butuh orang-
orang yang kuat dan tangguh dalam
menghadapi terjalnya perjalanan dakwah
tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Karena itulah kita dapati bahwa Allah
Ta’ala memerintahkan bersabar kepada
para Rasul-Nya shalawaatullaahi wa
salaamuhu ‘alaihim- mereka adalah para
pemimpin dalam amar ma’ruf nahi
munkar-, bahkan Dia menyuruh bersabar
kepada penutup Para Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam di awal-awal surat yang
dengannya beliau diangkat menjadi
Rasul.
“Hai orang yang berkemul (berselimut),
bangunlah, lalu berilah peringatan! dan
Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu
bersihkanlah, dan perbuatan dosa
tinggalkanlah, dan janganlah kamu
memberi (dengan maksud) memperoleh
(balasan) yang lebih banyak.Dan untuk
(memenuhi perintah) Tuhanmu,
bersabarlah.” (QS. Al Muddatstsir: 1-7)
Allah selalu mengawali ayat-ayat
tentang diutusnya Rasul kepada makhluk
dengan memberi peringatan, dan
mengakhirinya dengan kesabaran.
Peringatan itu sendiri hakikatnya ialah
amar ma’ruf nahi munkar. Maka
diketahui bahwa kesabaran itu wajib ada
setelahnya (setelah amar ma’ruf nahi
munkar)” (Ibn Taimiyah, Al Amr bil
Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar hlm. 56)
Kesabaran dalam berdakwah sangatlah
penting. Sabar itu sendiri bagi setiap
individu saja sudah sangat penting,
apalagi untuk berdakwah. Karena
sesungguhnya dakwah adalah perbaikan
dirinya dan perbaikan orang lain.
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).” (QS. Luqman: 17)
Karena itu, jangan berdakwah jika
kesabaran itu belum dimiliki. Betapa
banyak yang mengaku berdakwah kepada
Allah, mengajak manusia kepada Islam,
namun kerjaannya hanyalah marah-
marah, membuat onar, melaknat orang
lain, berdemonstrasi, memblokir jalan,
dan perbuatan merusak lainnya.
Sungguh, jika da’i seperti itu maka
bukannya ia menarik orang kepada Islam
tapi justru melarikan orang dari Islam.
Mereka berdakwah tapi sedikit ada batu
mengganjal langsung panas hatinya,
apakah ini dakwah yang dicontohkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Padahal yang diperintahkan oleh Allah
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah tetap bersabar.
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-
orang yang mempunyai keteguhan hati
dari Rasul-rasul telah bersabar dan
janganlah kamu meminta disegerakan
(azab) bagi mereka...” (QS. Al Ahqaf: 35)
Dakwah bukan sembarang kata, tapi
butuh pemahaman yang mendalam.
Termasuk juga sabar dalam berdakwah.
Namun sabar di sini bukanlah
membiarkan kemaksiatan terjadi
sedangkan kita diam, tapi sabar di sini
adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh
Ibnul Qayyim,
“Hakikat sabar ialah salah satu akhlak
jiwa yang mulia; dengannya perbuatan
yang tidak baik dapat dicegah. Sabar
merupakan salah satu kekuatan jiwa yang
dengannya urusan perkara jiwa menjadi
baik” (Ibnul Qayyim Al Jauziyah, ‘Idatush
Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin hlm. 36)
Jadi sabar adalah menahan jiwa agar
perbuatan yang tidak baik dapat dicegah
dan mengarahkan kita agar menjadi
lebih baik. Dan sungguh akibat dari sabar
ini sangatlah menguntungkan.
Karena dengan sabar, maka dakwah
akan terus berjalan dan akan menuai
hasil di kemudian harinya. Sebagaimana
para sahabat Rasulullah Shallallahu
’alaihi wa Salam dan siapa saja yang
meniti di atas jalan mereka.
Mereka telah menjadi para imam yang
memberi petunjuk dan du’at (penyeru)
kepada kebenaran serta para figur
pemimpin yang diteladani. Disebabkan
oleh kesabaran dan keimanan itulah
mereka dapat meraih kepemimpinan di
dalam agama.
Para sahabat Rasul Shallallahu ’alaihi wa
Salam dan para pengikutnya yang
mengikuti mereka dengan baik sampai
hari ini, mereka adalah para imam, para
pemberi petunjuk dan mereka adalah
teladan di dalam jalan kebenaran.
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu
pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika
mereka sabar. Dan adalah mereka
meyakini ayat-ayat kami.” (QS. As
Sajdah: 24)
Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar